Dikaji Adat nan ampek, itu pusako tanah Minang. Nak tuah cari sapakaik, nak cilako bueklah silang.!

Perantau Minang kehilangan identitas

Malu mengaku Minang

Orang Minang Kehilangan Identitas ?
Pasti sangat banyak diantara kita, Orang Minang
yang berada di kampung (di Sumatera Barat), punya sanak saudara di
rantau. Ya, sebab angka statistik memang mencatat, bahwa penduduk
Sumatera Barat cuma berjumlah lebih kurang 4 juta jiwa. Sedangkan Orang
Minang di perantauan, yang tersebar diseluruh nusantara bahkan manca
negara, jumlahnya konon mencapai angka 8 juta jiwa. Angka itu
membuktikan bahwa Orang Minang memang perantau.


Namun, patut kita pertanyakan, Orang Minang diperantauan itu masihkah
mereka memiliki identitas sebagai Orang Minang? Kenapa saya pertanyakan
itu? Sebab, sangat banyak dunsanak (saudara-red) kita dirantau itu yang sudah tidak tahu dimana kampung halamannya, tidak mengerti sako dan pusakonya
(silsilah keturunan dan kekayaan kaumnya). Bahkan yang lebih
memprihatinkan, banyak yang sama sekali tidak bisa berbahasa Minang.
Bayangkan, bahkan sekedar bahasa ibu pun sudah tidak dimiliki oleh
banyak Orang Minang diperantauan. Jika sekedar bahasa saja terlupakan,
lebih-lebih lagi budaya dan adat istiadat.

Persoalan Bahasa ini saya anggap sangat penting kita soroti. Sebab, di
dunia ini, bahasa daerah/bahasa ibu adalah pembeda utama antara satu
etnis dengan etnis yang lain. Sebab, secara biologis, antar etnis
tidaklah mudah untuk dibedakan. Kita tentu tidak tahu apakah seseorang
itu orang Jawa, orang Batak, orang Minang, atau orang Sunda, hanya dari
mengamati mereka secara fisik biologis. Tetapi, jika kita dengar mereka
berbicara, setidaknya kita akan bisa menebak dari etnis/sub-etnis
manakah mereka. Bahkan saat mereka berbahasa Indonesia sekalipun, kita
masih bisa menebak asal mereka dari dialek bahasa daerah mereka saat
berbicara. Artinya, bahasa daerah itulah yang menjadi identitas utama
suatu etnis. Nah, saat ini, Orang Minang di perantauan banyak yang sudah
kehilangan identitas tersebut.


Tak usah jauh-jauh, keluarga besar saya dan istri adalah contohnya. Para
sepupu kami yang banyak menetap di Jakarta, rata-rata tidak bisa
berbicara bahasa Minang. Jika mendengar mereka berbicara, sama sekali
tidak ada tanda-tanda mereka sebagai orang Minang. Ketika berbicara,
mereka lebih mencirikan diri sebagai orang Jakarta, orang Betawi, orang
Sunda, atau orang Jawa.


Wajar memang demikian. Sebab dialek mereka itu terbentuk oleh
sosialisasi dilingkungan sosial mereka. Mereka semenjak lahir
bersosialisasi di lingkungan masyarakat heterogen Jakarta, maka jadilah
dialek berbahasa mereka seperti layaknya orang-orang Jakarta berbahasa.
Nah, yang salah tentunya orang tua mereka. Orang tua mereka tidak
mengajarkan Bahasa Minang di lingkungan rumah. Menurut hemat saya,
seharusnya para orang tua yang notabene Orang Minang tulen itu,
mengajarkan Bahasa Minang pada anak-anak mereka. Di lingkungan rumah
tangga, seharusnya Bahasa Minang dijadikan sebagai alat utama komunikasi
verbal.


Bandingkan dengan orang Jawa. Dimanapun orang Jawa berada, mereka akan
berbahasa Jawa sesama mereka. Anak-anak orang Jawa, kemanapun orang tua
mereka merantau, dipastikan tetap bisa berbahasa Jawa. Sebab,
dilingkungan rumah tangga, mereka tetap menggunakan bahasa ibu mereka
itu. Buktinya, kita tentu tahu, bahkan orang-orang Jawa yang ada di
Suriname saat ini, yang sudah merupakan keturunan kesekian dari nenek
moyang mereka yang berimigrasi di zaman penjajahan Belanda dahulu, masih
mampu berbahasa Jawa dengan sangat-sangat fasih.


Pertanyaannya, kenapa orang Minang dirantau cendrung tidak mengajarkan
Bahasa Minang pada anak-anak mereka? Saya mensinyalir, itu karena Orang
Minang itu sendiri sudah mengalami krisis identitas. Krisis identitas
itu antara lain berbentuk tidak adanya rasa bangga terlahir sebagai
Orang Minang. Banyak penyebabnya. Antara lain, karena adanya berbagai
stereotype dan stigma negatif tentang Orang Minang yang terlanjur
berkembang ditengah-tengah masyarakat, sehingga menyebabkan sebagian
Orang Minang dirantau “malu” sebagai Orang Minang. Mereka akhirnya
berusaha menghilangkan Identitas ke-Minang-annya . Antara lain dengan
tidak mau berbahasa Minang dan tidak mengajarkan Bahasa Minang pada
anak-anak mereka. Lebih ektrim lagi, ada yang berusaha keras agar mampu
berbahasa atau setidaknya berdialek bahasa etnis lain, supaya mereka
tidak disangka sebagai Orang Minang.


Implikasi dari persoalan ini ternyata sangat luas. Orang Minang merasa
tidak percaya diri menggunakan Bahasa Minang saat ngobrol antar sesama
mereka ketika mereka berada di lingkungan bukan orang Minang. contoh,
Saya pernah bertemu seorang teman lama yang berasal dari Padang. Saya
menyapa dan mengajaknya ngobrol dalam bahasa Minang di depan
rekan-rekannya, namun dia meladeni obrolan saya dengan Bahasa Indonesia.
Contoh lain, seorang rekan sekantor saya di Jakarta saat menerima
telpon dari seseorang yang berbahasa Indonesia, dia akan menjawab
telpon tersebut dengan suara wajar sambil tetap berada di ruang
kerjanya, sedangkan saat menerima telpon dari teman atau kerabatnya yang
berbahasa Minang, dia akan keluar ruangan dulu, menjauh, baru kemudian
ngobrol dengan si penelpon denga suara yang setengah berbisik. Padahal,
kembali kita ambil contoh orang Jawa, ketika saya masih bekerja di
Padang dulu, teman-teman sekantor saya yang orang Jawa sangat percaya
diri dan cuek saja ngobrol menggunakan bahasa Jawa di lingkungan kantor,
ditengah-tengah karyawan lainnya yang mayoritas Orang Minang.



Orang Minang juga banyak yang tidak percaya diri (kalau tidak bisa
dibilang malu) dengan kemampuan berbahasa Indonesianya karena masih
kental dengan dialek Minang. Dan celakanya, sebahagain orang Minang
malah justru malu/risih mendengar orang Minang lain berbahasa Indonesia
kalau masih kental dialek Minangnya. Orang Minang merasa kampungan kalau
berbahasa Indonesia dengan dialek kampung mereka. Padahal, orang Batak
tidak pernah malu berbahasa Indonesia dengan dialek Batak yang keras,
orang Sunda tetap percaya diri berbahasa Indonesia ala Sunda yang
mendayu-dayu, orang Jawa juga tidak merasa perlu menghilangkan dialek
medok mereka saat berbahasa Indonesia.

Orang Minang malu berbahasa Indonesia dengan dialek Minang ini, menurut
hemat saya juga terjadi karena rekonstruksi budaya yang dibangun oleh
budaya populer melalui media massa, terutama media audio visual
televisi. Media televisi yang dari awalnya memang berkembang di Pulau
Jawa (baca Jakarta) , dan dikelola secara teknis dan materi program
mayoritas juga oleh orang-orang dari etnis yang ada di pulau Jawa,
menyebabkan berbagai tayangan program acara di televisi kental dengan
dialek masyarakat Pulau Jawa kebanyakan. Para presenter program-program
TV dengan nuansa populer haruslah mereka-mereka yang mampu berdialek
gaul ala Jakarta. Sinetron, film, juga penuh dengan dialog-dialog
berdialek masyarakat Pulau Jawa. Talkshow, wawancara, mayoritas juga
menghadirkan artis, tokoh, maupun pejabat yang bersasal dari Jawa. Nah,
masyarakat yang terus-menerus disuguhi oleh tayangan-tayangan tersebut,
akhirnya merasa bahwa dialek bahasa Indonesia yang “tepat’ itu adalah
sebagaimana yang sering ditayangkan dalam berbagai program televisi itu.
Yaitu dialeknya orang Jakarta/Betawi, dialek Sunda, dan dialek Jawa
tentu saja. Sehingga ketika mendengar dialek-dialek lain, masyarakat
merasa itu ganjil. Akhirnya, masyarakat dengan dialek lain, termasuk
dialek Minang, merasa “malu” dengan dialek mereka sendiri ketika
berbahasa.

[Image: blank.gif]

Aneh memang, Bahasa Indonesia yang sejatinya berakar dari bahasa Melayu,
oleh masyarakat justru dipersepsikan lebih cocok digunakan dengan
dialek masyarakat di Pulau Jawa. Dialek lain dianggap aneh, termasuki
dialek Minang. Dianggap aneh jika berbahasa Indonesia dengan dialek
Minang. Padahal Bahasa Minang banyak kemiripan dengan Bahasa Indonesia,
dan merupakan salah satu sumber pembentuk Bahasa Indonesia. Alhasil,
Orang Minang semakin malu dengan bahasa daerahnya. Dan, Orang Minangpun
makin kehilangan identitasnya..(kompasiana) 
Tambahan Admin, 
Kami di perantauan provinsi Riau sering melihat terutama di daerah pesisir timur Riau, orang minang malu menunjukkan identitas mereka, bahkan takut berbahasa minang di depan orang melayu, alasannya nanti di tandai, tutama pegawai daerah benar atau tidak admin belum punya data. , akhirnya admin jawab, itu perasaan anda aja, ini negara Indonesia jika ada penguasa daerah berbuat seperti itu , artinya kita di intimidasi, dan diskriminasi, kenapa takut berbahasa minang , kita kan orang indonesia, sedangkan orang cina yang bukan orang indonesia dengan pedenya mereka berbahasa cina sesama mereka di depan kita, apalagi kita orang Indonesia, oleh sebab itu mari kita satukan langkah dan tekad kita sesama minang di perantauan bahwa minag adalah salah satu warna Indonesia, yang ikut berkontribusi dalam membangun daerah yang di tempati orang minang. 


Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment