Abdullah Fakih
Sejarah mencatat bahwa banyak
faktor yang menyebabkan orang Minang pergi merantau. Di zaman kolonial,
orang Minang terpaksa meninggalkan kampung halamannan dicinto
karena dibuang oleh Belanda. Sedikit di antara mereka yang kembali, dan
lebih banyak yang berkubur di rantau pembuangan selamanya. Betul kiranya
gambaran sebuah pantun Minang:Bukik Putuih Rimbo Kaluang /
Dirandang jaguang diaguihsi / Di kida jalan ka kabalai / Tampak
galanggang pacu kudo // Ukun putuih badan tabuang / Dipandang kampuang
ditangisi / Sadang bansaik badan marasai / Duya dikisai rang nan kayo
(Bukit Putus Rimba Kalong / Direndang Jagung dihangusi / Di kiri jalan
menuju pasar / Tampak gelanggang pacu kuda // Hukum putus badan terbuang
/ Dipandang kampung ditangisi / Sedang miskin badan sengsara / Dunia
diaduk orang kaya).
Salah seorang Minangkabau yang dibuang Belanda di akhir abad ke-19 adalah seorang laki-laki dari Tilatang Kamang, bernama Abdullah Pakih Nagari. Tapi, berbeda dengan nasib kebanyakan perantau Minang lainnya, yang pergi merantau memburu tuah kepeang
(menjadi pedagang atau pegawai pemerintah), kisah Abdullah Pakih Nagari
cukup aneh. Justru karena keanehan itu kita kini dapat mengetahui kisah
petualangannya di rantau Aceh. Kisahnya mirip cerita Robinhood saja, tentu dengan karakteristik Minangkabaunya: cerdik dan agak ciluah. Kisahnya dimuat dalam Insulinde no.6
(Sept. 1901: 224-226), berjudul SAORANG ORANG RANTAI DI TANAH ATJEH,
JANG TERPANDANG SEPERTI WALI DAN SEPERTI ANAK RADJA (PRINS). Bulanan Insulinde didirikan oleh Dja Endar Moeda, pemimpin redaksi C.H. van Ophuijsen, pertama kalinya terbit di Padang pada bulan April 1901. Kisahnya sebagai berikut:
Pada tahun 1901 seorang panglima perang Aceh bernama Tengku Tapa tewas dalam pertempuran di Kerti [Aceh]. Mayatnya diselimuti dengan bendera bertuliskan huruf Arab, dan diberi pakaian sutra, layaknya seorang hulubalang gagah perkasa yang tewas dalam peperangan.
Kebanyakan orang Aceh percaya bahwa almarhum adalah Sultan Malim Dewa:
seorang anak raja yang sangat termasyhur di zaman purbakala karena
kegagahberanian dan kesaktiannya, sebagaimana dikisahkan dalam cerita
rakyat Aceh. Akan tetapi sesungguhnya Tengku Tapa adalah seorang tahanan
Belanda (orang rantai) yang telah bertahun-tahun melarikan diri.
Akhirnya ia menjadi terkenal dan mendapat kemuliaan dan dipuja-puji oleh
orang Aceh.
Tengku Tapa sebenarnya adalah orang Minangkabau keturunanbiasa, yang hidup sebagai seorang petani; namanya Abdullah Pakih Nagari [ditulis Negeri]
yang berasal dari Tilatang dekat Bukittinggi. Pada tahun 1885 ia
ditangkap Belanda karena terlibat dalam kerusuhan di kampungnya. Lalu Ia
dibuang ke Aceh sebagai orang rantai dengan hukuman 20 tahun. Tapi ia
berhasil melarikan diri, kemudian bergabung dengan orang Aceh yang
memberontak melawan penjajah Belanda.
Abdullah Pakih adalah seorang
Muslim dan pandai membuat azimat bertulisan Arab. Karena itulah ia
menjadi terkenal di kalangan orang Aceh dan menjadi terpandang disana
sebagai seorang dukun yang pandai. Ia kemudian diangkat menjadi dukun di
Istana Keumala. Tidak lama
kemudian ia diberi kepercayaan oleh Sultan untuk memungut uang belanja
perang dari kepala-kepala negeri di wilayah pantai utara dan timur Aceh.
Tak lama kemudian Abdullah Pakih
lenyap dari Istana itu, karena ia bertengkar dengan salah seorang famili
Sultan, yang kemudian dibunuhnya. Ia melarikan diri dan bersembunyi di
Gayo yang tidak takluk ke bawah perintah Sultan itu. Lalu ia pindah ke
Bulu Blang [Buluhblang, di Lhokseumawe] untuk menghindari balas dendam
Sultan. Di sana ia bersembunyi dan bertapa. Karena itu ia jadi
termasyhur dan dihormati orang banyak. Masyarakat setempat memberinya
gelar Tengku Tapa [dari kata bertapa].
Pada masa itu penduduk yang hidup
di pedalaman Aceh masih biadab [belum banyak bersentuhan dengan dunia
luar]. Para pemimpin merekasering terlibat perang dengan para pemimpin
Islam, seperti dari Gayo dan Jalak Kecil. Salah seorang pemimpin Islam
itu bernama Tengku Husin, yang sangat
benci kepada orang-orang biadab itu. Ia telah sering melucuti kekuasaan
pemimpin mereka yang kurang kuat. Lalu ada orang yang mengabarkan kepada
mereka bahwa Tengku Tapa dapat menolong mereka melawan Tengku Husin dan
pengikutnya. Sejak itulah nama Tengku Tapa menjadi termasyhur, apalagi
dalam waktu singkat ia dapat membunuh Tengku Husin yang ditakuti itu.
Di Aceh dikenal suatu hikayat
tentang tokoh Malim Dewa yang sangat gagah perkasa dan sakti. Ia
diyakini sebagaiseorang anak raja dari Pasai, yang berkuasa sampai ke
tanah Jawa dan negeri Cina. Malim Dewa mampu melakukan pekerjaan yang
sulit-sulit, di bumi dan di langit. Ia diyakini punya kendaraan seekor
naga yang dapat membawanya terbang ke langit, menyelam ke dalam laut dan
masuk ke perut ikan besar.
Pada suatu ketika Malim Dewa
menghilang dari dunia tanpa diketahui orang kemana perginya. Ada yang
percaya bahwa ia masih berada di dunia, tinggal sendirian di hutan di
gunung-gunung di Aceh Timur. Orang Aceh percaya bahwa Malim Dewa dapat
dilihat apabila ia berkelahi dengan Belanda, dimana ia dengan gagahnya
menebas batang leher serdadu Kompeni, dan memberi kemenangan kepada
orang Islam. Mereka percaya bahwa Malim Dewa sudah kembali ke dunia
untuk menolong mereka melawan Belanda. Maka yang mereka percayai sebagai
Malim Dewa adalah Tengku Tapa itu. Tak lama kemudian muncul pula Putri
Andam Dewi, istri Malim Dewa, tanpa seorang pun tahu dari mana
datangnya.Maka Malim Dewa Putri Andam Dewi duduk dengan segala
kebesarannya di istana mereka di Plada.
Pada suatu hari, ketika Malim Dewa
sedang duduk di istananya, di hadapan orang banyak, ada seseorang di
antara mereka yang menuduhnya sebagai Malim Dewa palsu dan telah
mendustai orang banyak. Orang itu pun lalu dipukuli orang banyak sampai
mati. Sejak kejadian itu tidak ada orang yang tak percaya kepada Malim
Dewa, dan namanya pun makin masyhurlah; yang tak mempercayainya tidak
berani mengatakannya di depan umum karena takut dibunuh.
Pada suatu hari seorang kepala
kampung dari Simpang Ulim bernama Teuku Makam datang mengunjungi Malim
Dewa. Setelah bertemu dengan pangeran itu ia tak dapat menahan
tawa,karena ia tahu betul bahwa orang yang mengaku Malim Dewa itu adalah
anak raja palsu. Apalagi ketika melihat Putri Andam Dewi, yang tiada
lain adalah mantan babunya. Akan tetapi Teuku Makam tidak berani
mengatakannya kepada orang banyak.
Dalam waktu singkat, jumlah
pengikut Malim Dewa sudah menjadi 10.000 orang. Penduduk Aceh di
gunung-gunung di sebelahselatan, utara, dan timur, Gayo, Edi Cut, Edi
Besar, Simpang Ulim, Pasai, Perlak, dan Sungai Jalak, semuanya tunduk
kepadanya.
Malim Dewa makin masyhur namanya
karena pada suatu hari ia menunjukkan kesaktiannya di hadapan orang
ramai: mereka berkumpul di sebuah tanah lapang. Malim Dewa mengimami
mereka sembahyang. Orang banyak diam seperti tertidur mendengarkan
suaranya yang nyaring mengimami mereka. Selesai shalat, maka
terdengarlah suara menggema yang mengatakan bahwa imam mereka itu
betul-betul Malim Dewa asli. Ia didatangkan kembali oleh Allah S.w.t. ke
dunia ini, lengkap dengan segala kesaktiannya seperti dahulu kala,
untuk menghancurkan kaum kafir (Belanda) di Aceh.
Mendengar suara itu, orang ramai
itupun terperanjat dan heran, karena mereka tidak tahu darimana
datangnya suara itu. Mereka percaya bahwa itulah suara Allah untuk
memberitahukan kepada massa bahwa memang imam mereka itu adalah Malim
Dewa asli.
Akan tetapi bagi orang yang tahu,
hal itu tidak mengherankan, karena batang pohon besar itu berlubang, dan
di dalamnya ada seseorang bersembunyi, orang suruhan Malim Dewa. Orang
itulah yang mengeluarkan suara itu.
Semenjak itu uang pun mendatangi
Malim Dewa: waktu ia tetirah empat hari lamanya di Tepian Batu, ia
mendapat sedekah sebanyak 10.000 dollar. Malim Dewa memberikan sebagian
besar uang itu kepada kepala-kepala kampung untuk membeli senjata guna
melawan Kompeni. Banyak juga kepala kampung itu yang melarikan uang itu
ke Panama [sebuah daerah di Aceh] dan hidup senang disana.
Waktu Kompeni melakukan ekspedisi
di Pedir tahun 1898, Tengku Tapa mencoba menyerang Kompeni, tetapigagal.
Sebanyak 10.000 pengikutnya berkumpul dekat Tangsi Edi, siap menyerang
pasukan Kompeni. Belanda segera minta bantuan pasukan ke Kutaraja. Juli
1898 sampailah di Edi 2 kompi serdadu Kompeni dari Batalyon 7. Malim
Dewa mulai merasa takut; banyak pengikutnya diam-diam pergi
meninggalkannya. Namun Tengku Tapa tidak mau mundur karena masih ada
lagi ribuan pengikutnya.
Pada 4 Juli 1898 serdadu Kompeni,
yang tidak begitu besar jumlahnya, menyerang pengikut Tengku Tapa, tapi
mereka dapat dipukul mundur. Kompeni minta bantuan pasukan lagi kepada
Jenderal Van Heutz di Kutaraja. Pada 9 Juli terjadi lagi kontak senjata
antara pengikut Tengku Tapa dengan serdadu Kompeni, yang menewaskan 27
orang pengikut Tengku itu.
Pada 11 Juli Kompeni menyerang
pengikut Tengku Tapa secara besar-besaran. Serangan itu sangat
membahayakan keselamatan Tengku Tapa, karena sudah 80 pengikutnya tewas.
Tengku Tapa dan pengikutnya menyingkir ke Tepian Batu. Komepeni
mengejar mereka kesana. Tengku Tapa dan pengikutnya terus lari ke Gayo.
Di sana mereka selamat karena daerah itu belum dikenal oleh Kompeni.
Akan tetapi setelah sampai di Gayo barulah pengikut Tengku Tapa
mengetahui siapa sebenarnya pemimpin mereka itu, yang tidak lain adalah
seorang orang biasa. Mereka merasa ditipu dan satu per satu pergi
meninggalkan Tengku Tapa. Sedangkan Putri Andam Dewi palsu melarikan
diri pula dan kembali menjadi babu di Simpang Ulim.
Kemudian ada lagi beberapa orang
yang mengangkatnya jadi pemimpin, tapi orang ramai tiada lagi percaya
kepadanya. Untuk ketiga kalinja Tengku Tapa masih dapat mengumpulkan
beberapa orang pengikut untuk melawan Kompeni. Akhirnya ia tewas dalam
satu pertempuran melawan pasukan Kompeni. [Berdasarkan informasi dalam Voksalmanak Melajoe
(Serie No. 561, 1922:204) deketahui bahwa pasukan Kompeni yang
menewaskan Tuanku Tapa itu dipimpin oleh Colijn dengan bantuan pasukan
marsose yang dipimpin oleh Sersan Weirata asal Ambon]. Kali ini Malim
Dewa betul-betul hilang dari dunia.
Demikianlah riwayat Tengku Tapa. Insulinde menutupnya denga kalimat: Tuan-tuan pembaca di Bukittinggi adakah yang kenal dengan Abdullah Pakih itu?
***
Kisah Abdullah Pakih Nagari dari
Tilatang ini adalah pernik-pernik sejarah yang sering dilupakan orang.
Melalui kisah ini kita mendapat gambaran bahwa Perang Aceh tidak melulu
berarti perseteruan antara orang Aceh versus Belanda.
Mungkin banyak orang dari suku bangsa lain yang terlibat dalam perang
itu, yang telah membantu orang Aceh melawan Kompeni, seperti Abdullah
Pakih Nagari dari Minangkabau ini.
Terdapat kesan bahwa Abdullah Pakih
Nagari sangat membenci Belanda. Mungkin karena dia dibuang oleh
Belanda, tapi mungkin juga karena didorong oleh keyakinan agamanya.
Karena agama inilah terjadi pertalian yang cukup erat antara orang Aceh
dan perantau Minang selama abad ke-19. Banyak perantau Minang berjuang
bahu membahu dengan orang Aceh dalam memerangi Belanda. Sebaliknya,
orang Aceh, terutama yang tinggal di pantai
barat, seperti Singkil, Trumon, dll. banyak membantu orang Minang
selama Perang Paderi: mereka menyelundupkan senjata kepada pasukan
Paderi di Bonjol lewat pelabuhan-pelabuhan seperti Air Bangis,Tiku, dan
Katiagan.
Kisah perantauan Abdullah Pakih Nagari ini juga menunjukkan karakteristik perantau Minang secara umum: panjang akal dan sedikit ciluah: memanfaatkan celah apa saja untuk bisa survive di rantau dan, kalau bisa, menjadi tasabuik. Dengan kepandaian membuat azimat dan memanipulasi mitos Malim Dewa,
Abdullah Pakih mendapat kepercayaan orang Aceh dan menjadi terkenal.
Ini mengingatkan kita pada kisah seorang perantau Minang lainnya: Raja Kecil, perayau dari Pagaruyung itu yang, seperti diceritakan dalam Hikayat Siak danTuhfat al-Nafis, telah menyerang Istana Johor di Semananjung Malaya pada tahun 1718.
Raja Kecil (ada yang mengatakan ia
hanya seorang perantau Minangkabau pedagang telur ikan terubuk di Siak)
mengaku bahwa ia adalah anak Encik Pong, gundik Sultan Mahmud (Mangkat
Dijulang) yang mati dibunuh oleh menterinya, Orang Kaya (Megat Seri
Rama). Raja Kecil mengaku bahwa ibunya telah menelan mani Sultan Mahmud
sebelum baginda mati ditikam oleh Orang Kaya pada tahun 1699 karena
dendam kepada sang raja yang telah membunuh istrinya.
Encik Pong yang telah menelan mani
Sultan Mahmud pun hamil dalam pelariannya, yang kemudian melahirkan Raja
Kecil, pewaris sah istana Johor. Dan kini, sebagai keturunan Sultan
Mahmud satu-satunya, ia datang (entah dari mana, tetapi jelas dari Siak)
untuk mengambil haknya atas tahta Kerajaan Johor. Ia, yang dibantu oleh
Orang Laut yang setia kepada almarhum ayahnya, berhasil menduduki
Istana Johor. Seperti telah ditunjukkan Leonard Andaya (1975) dan
Timothy P. Barnard (1994), penaklukan Johor oleh Raja Kecil, perantau
Minang yang cerdik itu, telah menentukan sejarah Kerajaan Johor
dibelakang hari.
Cerita yang menarik ini pun menunjukkan akal ciluah
perantau Minang pada masa yang lebih awal (abad ke-18): sekali lagi
dapat dikesan di sini bagaimana seorang perantau Minang dengan cerdik
memanfaatkan mitos pembenihan (menelan mani) untuk mencapai maksudnya.
Ceritanya mungkin dapat saya suguhkan untuk pembaca Singgalang pada kesempatan lain.
Suryadi, Dosen dan peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Indonesi Universiteit Leiden, Belanda (email: s.suryadi at hum.leidenuniv.nl)
Catatan: Artikel ini perah dimuat diharianSinggalang(Minggu 17 Mei 2006).