Dikaji Adat nan ampek, itu pusako tanah Minang. Nak tuah cari sapakaik, nak cilako bueklah silang.!

Menelusuri Kesultanan Indrapura

MENELUSURI JEJAK SEJARAH KESULTANAN INDERAPURA

Pendahuluan

Dikabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatra Barat yang terletak di selatan kota Padang, teptnya di kecamatan Pancung Soal, yang berbatasan dengan sungai penuh dan Bengkulu, terdapat peninggalan sejarah yang masihmisteri dan sepi dari informasi yakni Indrapura.
Pertama kali muncul nama kerajaan Inderapura dalam sebuah kertas kerja yang ditulis oleh Djanuir Chalifah Indra dengan judul; Sejarah Kerajaan Inderapura tahun 1970 [2]. Namun jauh sebelum itu klerks telah mencatat keberadaan pemerintah kesultanan Inderapura berkenaan dengan perjanjian perbatasan dalam bukunya; keterangan Geografi dan Etnologi dari daerah Kerinci, Serampas dan Sungai Tenang, 1890.
Indrapura menjadi menarik perhatian ketika Rusli Amran [3] menulis tentang kehancuran kerajaan ini, dan menilainya sebagai cerita sedih.
Dari semua cerita tentang Kerajaan Indrapura tersebut belum dapat menjelaskan secara utuh tettang pemerintah Indrapura, sehingga pemerintah Indrapura tetap menjadi misteri dan tanda Tanya bagi masyarakat dan berbagai kalangan.
Disini penulis mencoba menguak misteri dan menjawab tanda tanya tersebut dengan menulis tentang kerajaan Indrapura berdasarkan Manuskrip Pemerintah Usali Kesultanan Inderapura sebagai sumber sejarah yang nyata dan otentik.
Negeri Indrapura di Pesisir Selatan

1.1. Asal nama Indrapura
Secara etimologis ada beberapa pendapat tentang asal usul nama indrapura [4]. Indra berarti dewa, yakni dewa tertinggi Batara Indra atau Dewa Indra, Sri Maharaja Indra Dewa. Pura artinya tempat atau negeri. Jadi Indrapura adalah negeri tempat kedudukan Dewa Indra, Negeri Sri Maharaja Indra warman Dewa.
Pendapat lain mengatakan bahwa kosakata indra berasal dari indra sejati, menjadi indrajati dan berubah bunyi menjadi Indojati, berarti Raja Asli, Raja Sejati, sementara Pura berasal dari kata Puro artinya Uncang, atau kantong tempat batu-batu permatamilik raja. Dalam riwayatnya dikatakan puro raja tersebut jatuh kedalam air, hilang dan tidak ditemukan lagi, maka air tersebut dengan lokasi tempatnya disebut Air Puro yang akhirnya negeri tersebut kemudian berubah nama menjadi Indrapura yang lidah masyarakat Indrapura menyebutnya indopuro / Indopugho yang artinya puro raja atau puro dewa .

1.2. Tinjauan Geografis
Bila kita dari Padang, Lebih kurang 40 Km sebelum Lunang dalam kecamatan Pancung Soal Pesisir Selatan, lalu berbelok kekanan, lebih kurang 10 Km kedalamnya, disitulah letaksebuah nagari yang sekarang masih bernama indrapura. Diujungnya mengalir sebuah sungai yang pada zamannya memilki pelabuhan sendiri yang bernama Muara Sakai . Kapan kita menghiliri sungai itu dari Muara Sakai Indrapura dengan menumpang sebuah perahu boat, sekitar setengah jam kemudian kita akan sampai dimuaranya yang bertemu dengan laut pantai barat Sumatra. Dahulunya teluk yang terdapat dimuara sungai ini merupakan pelabuhan tertua di jalur pesisir barat sumatera yang dikenal dengan pelabuhan Samuderapura.
Ada sebuah desa nelayan, disamping kiri muara sungai ini bernama desa Pasir Ganting, didepan dan kanan muara kita melihat delta-delta yang diapit sungai-sungai kecil diantara sungai besar lainnya yang juga bermuara kesitu. Diujungnya terjadi pertemuan dua muara sungai besar. Satu sungai yang mengalir dari Muara Sakai Inderapura, yang satu lagi dating dari arah negeri Air Haji dengan muaranya bernama Muara Bantayan.
Pertemuan dua muara ini, antara Muara sakai Indrapura dan muara Bantayan disebut penduduk setempat dengan nama Muara Gedang. Didepan Muara Gedang ini ada pulau-pulau kecil yang dinamakan Pulau Raja dan Pulau Putri. Delta-delta yang disebut pelokan Hilir dan Pelokan Mudik hanya merupakan hutan belantara yang tak berpenghuni, seperti pulau-pulau kosong. Itulah bagian arah kelaut dari negeri Inderapura denga tanah sawah yang luas namun penuh rawa ketenggelaman zaman.
Dilihat dari Minangkabau yang berpusat di Pariangan sekitar lereng Gunung Merapi, Indrapura merupakan negeri yang terletak paling selatan, pantai pesisir barat Sumatera Barat. Sekarang Inderapura hanya sebuah kanagarian dikabupaten pesisir selatan yang dipimpin oleh seorang Wali Nagari. Penduduk yang mendiami negeri ini terdiri dari suku melayu asli yang disebut Melayu Tinggi Kampung Dalam, melayu Gedang, Sikumbang, Caniago, Tanjung dan lain-lain suku minangkabau. Tetapi juga ada keturunan dari jawa seperti Gresik, Tuban, dan Bugis yang telah lebur menjadi masyarakat Indrapura Pesisir Selatan [5].

1.3. Misteri Sejarah
Indrapura, sebuah negeri yang diam namun menyimpan misteri yang tak terjamah sampai hari ini, berabad-abad tenggelam dalam kabut sejarah, luput dari intaian para anggota, terbenam dalam impian sang pewaris keturunan sultan-sultan dari sebuah bekas Kerajaan Kesultanan Islam tertua. Setidak tidaknya sama tuanya dengan ketuaan masuk dan berkembangnyaagama Islam itu sendiri di samudera nusantara ini, yang punah dinegeri sendiri.
Pernah merupakan kerajaan yang luas membentang keutara samapai-sampai melewati Padang, Paraiaman, Tiku, Air Bangis, dan Maeulaboh, keselatan sampai Sungai hurai, meskipun formal bagian dari Minangkabau yang berpusat di Pagarruyung, tetapi praktis berdiri sendiri, merdeka tanpa ikatan apapun.
Balahan persaudaraan dan cucuran keturunan keturunannya bertebaran kemana-mana, diantaranya menurunkan Raja-Raja Islam yang juga berpangkat Sultan pada zamannya dan ada pula yang menjadi pemimpin-pemimpin negeri sejak dahulu sampai sekarang dikawasan Nusantara ini.
Menurut Ruli Amran [6], Indrapura adalah daerah yang dahulunya paling besar, penting, dan terkayapula di Pesisir Barat Sumatera Barat. Kita melihat mundurnya terus menerus Pemerintah ini dalam segala lapangan baik tentang daerah, ekonomi maupun pemerintahan. Disamping Belanda dan Aceh, Inggris pun memiliki minat yang besar sekali terhadap daerah ini. Namun dalam banyak hal, Inggris ketinggalan disbanding denga Belanda, tetapi khusus tentang Indrapura, Inggris gigih sekali berusaha menanamkan kekuasaan mereka disana.
Riwayat Indrapura adalah cerita kenangan sejarah yang diwarnai kepiluan dan kesedihan. Sejarah tidak banyak melukiskan terjadinya pemerintahan Kesultanan Inderapura di Pesisir Selatan ini. Juga tidak diketahui proses terbentuknya.

1.4. Lada dan Emas sebagai sumber konflik
Lada, rempah-rempah dan emas adalah hasil terbesar dan sumber kekayaan dan kesuksesan Indrapura. Tetapi oleh lada dan emas itu pulalah Indrapura jatuh dan tak sanggup berdiri lagi.
Indrapura di incar dengan mata gelap oleh pemburu-pemburu emas Nusantara yang datang dari berbagai negeri. Bangsa Portugis dan Spanyol menjelajahi dunia untuk mencari emas, lalu mereka menelusuri pantai barat Sumatera mencari Pulau Emas itu disekitar Pulau Nias.
Bangsa Portugis mendengar cerita tentang Ilha De Ouro (pulau emas) pada awal abad 16 di India, lalu mereka berangkat menuju Sumatera. Peta dunia mereka pada tahun 1520 M, yang kini tersimpan di biblioteca Estense di Modena telah memasukkann Sumatera di dalamnya. [7]
Tercatat Diogo Pacheo sebagai orang Eropa pertama yang memasuki Sumatera, dengan ekspedisi yang telah diperlengkapi untuk pencarian Ophir, negeri Emas Nabi Sulaiman yang diperkirakan adalah salah satu dari gunung-gunung eams di Sumatera. Namun penduduk Sumatera tidak ada yang mau mengatakan dimana emas itu ada.
Banyak penulis berkisah tentang Raja Sulaiman yang mengirim armada Punisia pada tahun 945 SM ke gunung Ophir yang tetap menarik untuk petualang-petualang emas dinegeri sana, seperti yang diungkap oleh Nia Kurnia melalui artikel-artikel sejarah yang ditulisnya, begitupun dalam bukunya kerajaan Sriwijaya , Nia menulis bahwa dalam kitap Raja-Raja I pasal 9 tercantum keterangan bahwa anak buah Hiram, raja Tirus, berlayar ke Ophir untuk mencari emas, lalu Hiram mempersembahkan 420 talenta emas kepada Nabi Sulaiman.
Rahasia tambang emas sumatera tetap saja tersembunyi. Petualang-petualang pencari pulau emas telah menjadi sebuah misteri tersendiri, namun perburuan itu tetap saja bertahan. Sampai pada abad ke 17, beberapa diantaranya tidak lagi dapat dirahasiakan.
Selanjutnya dijelaskan dalam tulisan itu tentang tulisan Garbriel Ferrant dalam karyanya L’empire Sumatranais de Crivijaya mengutarakan bahwa masa Sriwijaya, pulau Sumatera disebut Swuvarnadvipa, Suvarnabhumi dengan ibu kotanya Suvarnapura yang berarti Pulau Emas, Bumi emas, Negeri emas sedang orang Tionghoa menamainya dengan Kincheou [8 ].
1.5. Indrapura, Sosok Pintu yang Rumit
Dari sekian banyak pelabuhan-pelabuhan emas dan rempah-rempah di Sumatera, khususnya yang dikunjungi petualang-petualang pemburu emas ke pantai pesisir barat Sumatera seperti Pancur,, Tiku, Pariaman, Sungai Nyalo, Tarusan, Bayang, salido, Kota Sepuluh, dan Bengkulu ternyata tidak banyak yang mengenal Indrapura.
Rusli Amran mencoba memberikan informasi tentang keberadaan Indrapura tetapi itu hanya berupa catatan peristiwa sejarah yang terjadi dimasa kompeni Belanda, Inggris dan juga Aceh, yang saling bersaing memperebutkan pengaruhnya di Sumatera Barat, Pesisir Barat Minangkabau waktu itu.
Begitupun kertas kerja tulisan Djanuir Khalifah St Indera tentang sejarah Kerajaan Inderapura yang disampaikan dalam seminar Sejarah dan Kebudayaan Minagkabau (1970) belumlah banyak mendapat tanggapan penulis-penulis sejarah, karena tidak ada bukti yang otentik.
Padahal Inderapura sebagai sebuah pemerintah Usali Kesultanan adalah sosok pintu yang rumit menutupi latar belakang tonggak-tonggak sejarah Islam Nusantara khususnya Islam Minangkabau di Sumatera Barat. Demikian juga tentang sejarah dan silsilah keturunan sebagian besar sultan-sultan yang berkuasa di berbagai kerajaan-kerajaan Islam Nusantara pada zamanya. Inderapura menyimpan banyak rahasia kesuksesan dan kekayaan pulau Sumatera. Terjepit antara kepentingan-kepentingan petualangan Portugis, Inggris, dan VOC Belanda yang kemudian mengkambing hitamkan Aceh.
Kesultanan Inderapura merupakan kunci yang memegang rahasia urat tunggang perjalanan sejarah Raja-raja Melayu Nusantara seperti; Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Bugis Makasar, Jogjakarta, Surakarta, Banten, Betawi, Siak Sri Indrapura, Sriwijaya, dharmasraya, Pariangan, Minangkabau, Pagarruyung dan Aceh yang kemudian menyebar ke daerah yang lain dikawasan nusantara ini. Runtuh dalam ketersembunyiannya, memendam rahasia sejati, namun tetap tegar dalam reruntuhannya, kaya dalam kerahasian, mistis dalam kepercayaan, namun miskin dalam keberadaan sejarah masa kini.
Raja terakhir Kerajaan Kesultanan Indrapura adalah Sultan Muhammad Bakhi gelar Sultan Firmansyah, yang memerintah pada 1860-1891. Sejak awal berdirinya tercatat abad IX sampai akhir abad ke XIX, berarti sejak pemerintah ini berdiri mampu bertahan keberhasilannya selam 10 Abad sebagai sebuah pemerintahan Kesultanan Islam di Nusantara ini.
Dari sisa-sisa peninggalan sejarah yang telah terkikis habis hanya manuskrip Ranji Silsilah Keturunan Kerajaan Kesultanan Indrapura yang masih tinggal dan dipelihara oleh ahli warisnya. Manuskrip ini cukup membuktikan kepad kita, bahwa daerah yang sekarang menjadi kabupaten Pesisisr Selatan Provonsi Sumatera Barat adalah bekas kerajaan Usali Kesultanan Indrapura memang menyimpan berbagai Misteri Sejarah Nusantara masa lalu.
Sebuah dokumen penting yang menjadi saksi keberadaan pemerintah Usali Kesultanan Indrapura dimasa lalu. Dokumen ini merupakan sebuah manuskrip yang isinya berupa uraian tentang Silsilah Keturunan Raja-raja dan Sultan-sultan Indrapura dimasa lalu. Barangkali hanya satu-satunya bukti otentik twertulis tentang keberadaan kerjaan Usali Kesultanan Indrapura di Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat.
Manuskrip ini secara tradisi disebut Ranji Melayu Tinggi, Ranji Tinggi Inderapura, Manuskrip ini berupa gulungan kertas dengan ukuran panjang sekitar 507 x 57,2 Cm. Disimpan dalam sebuah tabung yang terbuat dari seng plat berwarna coklat tua dengan ukuran panjang 65 Cm dan diameter 10 Cm.
Dalam manuskrip tersebut ada tulisan berupa karakter arab dengan hiasan garis-garis tebal bercabang-cabang sampai ke ujungnya yang berbentuk lingkaran menyerupai crop cycle / cakra dengan tinta warna merah, hitam, biru dan hijau. Ada sebanyak 203 buah lingkaran yang terdapat dalam manuskrip tersebut, serta 7 buah cap stempel dibeberapa tempat sepanjang naskah. Kalau dilihat secara keseluruhan garis-garis dan lingkaran tersebut membentuk semacam pohon yang bercabang dengan dahan dan ranting-rantingnya. Disetiap lingkaran tertulis nama atau gelar dari keturunan-keturunannya.
Gambar pohon keturunan dalam manuskrip tersebut diukir dalam garis-garis dan lingkaran berwarna merah, hitam, hijau, biru yang indah dan mempesona. Ditulis dalam huruf Arab berbahasa Melayu pada kertas tua warna sudah kecoklat-coklatan yang kondisinya sudah lapuk, sehingga perlu diberi lapisan kertas lain, terekat rapi sebagai penguat dibagian belakang kertas manuskrip Ranji. Bila manuskrip Ranji ini hendak dikeluarkan maka sang ahli waris selalu lebih dahulu membaca doa.
Ada wacana tersendiri tentang manuskrip Ranji ini ditengah-tengah masyarakat, saling membicarakan asli atau tidak aslinya, ada yang menyebut dengan tambo tinggi Indrapura, ada yang menyebutnya dengan Ranj Tinggi dan sebagainya. Tambo tinggi itu ada yang mengatakan bahwa yang dahulu terbuat dari kulit unta, tetapi yang sekarang hanya dari kertas. Anehnya sepanjang yang dapat penulis wawancarai, mengatakan bahwa mereka sendiri belum pernah melihat manuskrip itu secara langsung.
Tetapi setelah penulis melihat dam membaca sendiri, secara tradisi penulis tidak menghiraukan apa kertasnya, berapa umurnya, apa tintanya atau siapa yang menulisnya. Untuk penulis secara tradisi yang penting adalah isinya, apa yang ditulis dalam manuskrip Ranji itu. Ternyata disamping Ranji silsilah keturunan juga mengambil catatan-catatan penting tentang seluk beluk pemerintahan, raja atau sultan yang berkuasa, wilayah kerajaan, catatan-catatan tentang barang pusaka dan tanah ulayat pemerintah dan lain-lain. Inilah yang menarik.
Penulis pertama kali membaca manuskrip Ranji ini di Padang, dan kemudian menghapus tuliskannya kedalam tulisan latin di bulan Oktober 1989, atas izin ahli warisnya Sultan Burhanuddin glr Sultan Firmansyah Alamsyah [9], Pucuk adat Kampung Dalam Indrapura, di pesisir Selatan. Sekarang (2004) Ranji tersebut telah diserahkan kepada kemenakan beliau bernam Putri Rahmi Hatifah, 55 thn. Beralamat di pasar sebelah No 101 Nagari Inderapura, Kecamatan Pancung Soal Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
Tujuan menghilangkan tuliskan ini pada awaldnya dhanya demi kemudahan membaca dan mempelajari saja. Dari pada sering-sering membuka manuskrip, lebih baik dibuatkan tulisan latinnya, laulu diketik rapi. Penulis mendapat kepercayaan dari ahli waris untuk mengerjakannya dengan senang hati, meskipun tugas itu terasa berat. Tetapi didorang oleh rasa keingin tahuan menjadikan penulis sebagai putra Pesisir Selatan bersemangat mengerjakannya, bahkan secara pribadi kemusian penulis melakukan studi banding dengan berbagai penelusuran, pengkajian, penelitian dan pengamatan kelapangan, yakni kenegeri-negeri yang punya hubungan dengan Inderapura.
Transkrip Ranji ini, tidaklah menurut metodologi yang biasa dilakukan secara ilmiah, tetapi transkrip praktis, menghapus tuliskan secara bebas apa yang dibaca, apa bacaannya kemudian dituliskan sebagai sebuah salinan dalam huruf dan bahasa latin. Itu saja. Dalam usaha mentranskripkan naskah ini, penulis sebenarnya tidak bekerja sendiri, karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada ahli waris Bp. Soetan Boerhanuddin Gelar Sultan Firmansyah Alamsyah yang telaqh mengizinkan dan mempercayakan naskah asli pusaka beliau kepada penulis untuk dibaca dan dihapus tuliskan. Serta terima kasih kepada Bapak Datuk Machudum (Alm wf Th 2003) yang telah menyediakan fasulitas diruangan hotel Machudum untuk pekerjaan ini, bahkan beliau ikut membantu penulis membacakanya bersama-sama dengan beliau ahli waris pemilik manuskrip ini.
Apa-apa yang penulis catat dan tulis tetap dikonfirmasikan kepada ahli waris dan secara bersama-sama melakukan cek ulang pada bacaan yang ditranskripkan tersebut. Perhatian hanya difokuskan terhadap kemungkinan terjadinya salah arti, atau salah pengertian terhadap bacaan.
Batang atau pohon Ranji silsilah Sultan-Sultan kerjaan usli kesultanan inderapura ini cukup panjang mencatat seluruh sultan-sultan yang memerintah kerajaan kesultanan Indrapura dari generasi ke generasi. Ada 33 Sultan, Raja atau Ratu diiringi catatan dan uaraian singkat dibawah nama masing-masing. Para anggota barangkali akan lebih dapat mempelajari naskah secara lebih rapi.
[1] Makalah ini disiapkan untuk Simposium Internasional Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manasa), 26-28 Juli 2004, bertempat di wisma syahidah, Universitas Islam Negeri Ciputat, Jakarta
[2] Djanuir Chalifah St Indra, 1970. Sejarah Kerajaan Inderapura. Panitia Seminar Sejarah dan Pemerintah Minangkabau, Padang
[3] Rusli Amran, 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Sinar Harapan: Jakarta
[4] Pemerintah tetua yang juga memakai nama Indrapura adalah kerarajaan Campa. Di aceh (Lamuri) juga ada nama indrapuri, begitupun di Medan, dan langkat ada negeri yang juga bernama Indrapura. Di Riau juga ada kerajaan Siak Sri Indrapura. Jakarta sebelumnya juga bernama Indrapura. Arti umum Indrapura adalah kota raja atau kampung Raja. Dijawa tidak ada negeri yang bernama Indrapura. Konon, bahkan tidak diizinkan memakai nama Indrapura, karena nama itu milik Raja-Raja Swarnabhumi. Mungkin ada hubungannya sebagai akibat bentrokan antara Balaputa Dewa pendiri Swarnabhumi dengan Rakai Pikatan suami Pramodharwarni yang berkuasa di Jawa. Namun dasarnya adalah karena Raja-Raja Swarnabhumi dan penduduk keturunan Gunung Merapi berdasarkan kepercayaan waktu itu menganggap dirinya keturunan Dewata Indra, sehingga Raja-Raja Swarnabhumi bergelar Dewa dan Pendeta-pendetanya bergelar Dewa Tuhan, yakni para manusia Dewa yang berada di Bumi. Raja-Raja yang menganggap keturunan dewata Indra adalah Sriwijaya, Melayu, Swarnabhumi, Minangkabau kemudian mengenal Dewata Indra dengan nama Ninik Indojati atau Indrajati.
[5] Orang-orang Gresik di Indrapura diberi gelar Rang Kayo Mat meti, Rang kayo Gom Sati, Rang Kayo Andan Sati, dan gelarnya dibawah koordinasi Rang Kayo Tumenggung, Rangkayo Nangkhodo Basa, Penjabat gelar pertama dating dari Gresik (nan dating dari lawik) . Sebelum iotu juga ada Datuk Nagkohodo Basa dari Singosari. Gelar-gelar ini berdiri sendiri untuk orang Gresik dan Tuban, diberi secara adat oleh orang Minang.
[6] Rusli Amran, 1981, Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Sinar Harapan Jakarta, hl: 228
[7] Harian Kompas Minggu. 1981
[8] Nama asli pulau Sumatera yang tercatat dari sumber Tambo Silsilah Minagkabau adalah pulau emas, atau tanah emas dalam bahas sansekerta disebut Suvarnadwipa dan Suvarnabhumi. Ini ditemukan tertulis pada berbagai prasasti di Sumatera. I-Tsing pada abad ke 7 menyebut pulau Sumatera dengan Chinchou untuk arti negeri emas. Kata chincou sampai sekarang masih berlaku pada kata kin-ceu yang menjadi kerinci.
[9] Purnawirawan Abri, anak kandung putrid Gindan Dewi Alam di Melayu Tinggi Kampung Dalam Indrapura. Berdasarkan sejarah (Historis Rech) Kesultanan Indrapura oleh lembaga penghulu Mentri, Kerapatan Adat Kenagarian Indrapura Kecamatan Pancung soal Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat, telah dijelaskan sebagai ahli waris yang syah ex Pemerintah Kesultanan Indrapura, berdasarkan surat No 29-ist/KAN-1975 tertanggal 9 Mei 1975. Keturunan terakhir dari bekas Kerajaan Kesultanan Indrapura yang tertulis dalam Ranji Asli adalah Putri Gindan Dewi Alam Indrapura (ibu dari St. Burhanuddin) bersama saudaranya Sultan Setiawansyah Indrapura.
Oleh:
EMRAL Djamal DT RAJO MUDO
Praktisi dan Pengamat Budaya Tradisi
Dokumen lengkap silahkan download disini
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment